Menulis sebenarnya adalah sebuah pekerjaan. Sayangnya, tak semua orang paham mengenai “pekerjaan menulis” ini. Coba bayangkan, tiap hari di kantor, setiap pekerja profesional selalu memanfaatkan komputer, baik desktop maupun laptop. Apa yang mereka kerjakan, kalau bukan untuk menuliskan sesuatu di dalam layar komputer. Mulai dari menulis memo, nota dinas, e-mail, surat, proposal, hingga laporan pelaksanaan program. Yang jelas, sebagian besar dari mereka bukanlah jurnalis atau penulis profesional.
Karena sudah menjadi sebuah rutinitas, semestinya upaya memperbaiki ketrampilan menulis harus terus dilakukan. Baik melalui diskusi internal, maupun mengikuti pelatihan-pelatihan peningkatan ketrampilan menulis. Lebih-lebih jika sang majikan alias bos di kantor berharap seluruh tulisan –memo, nota dinas, e-mail, dan laporan—dari staf harus mengikuti kaidah penulisan yang baik dan benar. Mau tak mau, training harus dilakukan. Meskipun, tanpa menunggu perintah manajemen, pelatihan seperti ini layak dan pantas diadakan.
Selama dua hari, 15 – 16 Oktober 2009, kantor saya, Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat, memperoleh kepercayaan dari manajemen Bank Syariah Mandiri (BSM), untuk menyelenggarakan training tentang ”report writing” bagi 28 peserta dari seluruh divisi dalam perusahaan ini. Empat subyek seputar dunia tulis-menulis disampaikan dalam pelatihan yang berlangsung di Wisma Mandiri (Ex Bank DBN) Lt. 25, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Saya sendiri bertindak sebagai fasilitator selama dua hari pelatihan itu.
Wahyu Muryadi, Redaktur Eksekutif Majalah TEMPO, tampil pertama kali membawakan materi tentang Membuat Kerangka Tulisan dan Proses Penulisan. Sesi ini diakhiri dengan workshop membuat resume dari materi yang disampaikan Wahyu. Cara penyampaian Wahyu yang acapkali diselingi joke-joke segar, membuat suasana pelatihan berlangsung sangat rileks. Pada awal workshop, ketika memberikan pengantar, saya menyampaikan agar seluruh peserta melupakan untuk sementara –selama dua hari workshop—urusan pekerjaan kantor sehari-hari. Ini supaya seluruh materi bisa diserap dengan maksimal dan suasana pelatihan lebih santai.
Usai santap siang, masih di hari pertama pelatihan, 15 Oktober 2009, sesi berikutnya menampilkan Sapto Nugroho, Redaktur Bahasa Majalah TEMPO. Sapto banyak mengulas hal-hal mendasar seputar Filsafat dan Aspek Berbahasa. Mulai dari penggunaan tanda baca, penempatan tanda baca, penggunaan huruf kapital atau huruf kecil, pilihan kata (diksi), hingga penyusunan kalimat sesuai standar SPOK. Sesi ini diakhiri dengan latihan menyusun sebuah paragraf yang bahannya telah disiapkan oleh narasumber.
Pada hari kedua, 16 Oktober 2009, Teguh Poeradisastra dari Majalah SWA, mengisi workshop dengan materi tentang “Jenis-jenis Surat Bisnis dan Penggunaannya”. Sesi ini merupakan inti dari workshop. Pasalnya, dalam praktik sehari-hari, para peserta workshop banyak berhubungan dengan pembuatan dan pengiriman surat-surat bisnis tersebut. Mulai dari nota dinas, memo, e-mail, macam-macam surat, hingga laporan kegiatan atau program.
Setiap institusi memang memiliki standar dalam penyusunan surat-surat bisnis. Karenanya, meski ada patokan-patokan secara universal, namun Teguh tidak memaksakan agar peserta menggunakan versi yang ia sampaikan. Hanya saja, memang sejumlah hal yang sifatnya umum, menjadi bahan diskusi dengan peserta. Sebagai pemungkas hari kedua workshop, saya mengundang Eduard Depari, Head of Communication Department Raja Garuda Mas (RGM). Edu –panggilan karib praktisi komunikasi ini—mengulas tentang pengalamannya berkomunikasi tertulis dengan manajemen. Sejumlah aspek penting berkomunikasi, mulai dari soal-soal teknis hingga empati dan simpati, ia kemukakan.
Dalam dialog dengan Edu, beberapa peserta workshop menyampaikan persoalan-persoalan menyangkut aspek komunikasi non-teknis yang mereka alami selama ini di lingkungan kantor. ”Bagaimana cara menjelaskan kepada bos bahwa pendapat dia salah, namun bos tidak pernah mau mengakui kesalahannya itu,” tanya seorang peserta. Menurut Edu, ada adagium klasik yang menyebutkan bahwa ”bos tidak pernah salah. Jika bos bersalah, maka lihatlah adagium sebelumnya”. Artinya, ”Perlu bersikap taktis jika Anda ingin mengingatkan kepada bos bahwa sikap atau pendapat bos tersebut keliru. Caranya bisa menggunakan third party sebagai endorser. Dan jangan mengambil sikap yang frontal,” jawab Edu mengakhiri sesinya.
Ujung dari workshop ini peserta saya bagi menjadi dua kelompok. Lalu mereka saya beri tugas menyusun rekomendasi hasil workshop, untuk dijadikan parameter bagi seluruh karyawan di lingkungan Bank Syariah Mandiri dalam membuat penulisan berbagai jenis laporan. Setelah usai disusun, rekomendasi itu kemudian dibahas untuk didiskusikan bersama. Baru berjalan lebih kurang lima menit, tiba-tiba gempa menggoyang lantai 25 tempat workshop berlangsung. Seluruh peserta pun lalu berhamburan keluar ruangan hendak turun ke lantai dasar. Dan, workshop pun selesai meski belum ditutup secara resmi. ”Semoga (gempa) ini bukan pertanda buruk bagi kita semua,” ujar saya kepada sejumlah peserta yang sedang mengantri untuk turun menggunakan lift. ***
menulis bisa keasyikan juga loh
Sangat seru! Gempa menutup training tersebut. Adakah penutup lain yg lebih keren selain dari gempa di Bank Syariah Mandiri?
Betul sekali bang David… Selamat menulis dan terus menulis….!!
Bagiku, menulis memang sebuah pekerjaan. Karena memang kerjaku menulis. Dan aku cukup menikmati kerjaan itu, walaupun terkadang harus mengajakku mencekang mata sampai pagi. Tapi bener, aku menikmatinya. Dari menulis lagu, menulis Lirik lagu atau menyiapkan Skrip untuk Film Dokumentari, atau menulis makalh, rasanya cukup mengasyikkan ( bahkan kadang merasa terobsesi).
Memang , kadang kita terbentur kepada satu tahap, dimana rasanya seperti sulit untuk memulai. Tapi begitu kita merambah ke baris yg pertama, biasanya akan terjumpa jalan Tol yg mulus didepan, hingga ke satu destinasi yg memberikan kita sebuah senyuman.
Tentu saja, sebuah perjalanan tidak selalu mulus. Tapi mungkin disitu seninya menulis, yg sebenarnya menguji kepekaan seseorang dalam menuangkan buah fikiran kedalam sebuah tulisan. Dan itu kulakukan setiap hari dan aku dibayar untuk melakukan itu.
Dan ternyata aku belum (pun) berhenti menulis hingga saat ini. Karena mungkin hanya itu yg kutau.