Feeds:
Pos
Komentar

Ada begitu banyak angka atau statistik yang beredar di industri pers nasional. Masing-masing memiliki argumentasi asal-muasal. Sungguh pun begitu, industri pers layak memiliki acuan-acuan statistik yang bisa menjadi rujukan bersama. Tak cuma bagi perusahaan pers, melainkan juga dapat dimanfaatkan bagi pengiklan maupun publik pembaca.

Itulah salah satu pemikiran yang mengemuka dalam forum diskusi terarah yang digelar Serikat Perusahaan Pers (SPS) Pusat, di Jakarta, Jumat (07/03/2014) silam. Mengusung tema “Pers dalam Perspektif Angka”, diskusi yang dipandu Direktur Eksekutif SPS Pusat Asmono Wikan, itu menghadirkan para pemilik statistik media. Antara lain Nielsen Indonesia dan Badan Pusat Statistik (BPS). Sementara itu, Dewan Pers yang diundang dan juga memiliki data monitoring media, sayang sekali tidak mengirimkan wakil dalam diskusi tersebut. Tak ada penjelasan Dewan Pers tentang ketidakhadiran mereka tersebut. Padahal tiap tahun, lembaga yang lahir karena amanat UU Pers itu, selalu merilis data tentang monitoring media versi mereka.

Tanpa hendak mengambil kesimpulan yang absolut, para peserta diskusi yang hadir, sekitar 30 orang mewakili penerbit media cetak dan penyiaran serta lembaga survei, memiliki kesamaan pandangan untuk memperoleh data yang memadai dan mendekati riil tentang profil media di negeri ini. “Data (media) yang tidak riil itu sebenarnya mengganggu. Oleh sebab itu, menyingkap sejauhmana data tentang media itu sungguh diperlukan bagi industri ini,” demikian Rustam Mandayun dari majalah TEMPO menegaskan pentingnya data profil media di awal diskusi berlangsung.

Lanjut Baca »

Meliput di daerah konflik selalu bukan perkara mudah. Apalagi wilayah konflik kerap berada jauh dari pusat kekuasaan, alias ibukota negara. Ancaman terhadap keselamatan jurnalis media di wilayah ini sungguh tak main-main. Nyawa bisa jadi taruhannya.

Toh begitu, misi pers untuk memberikan informasi yang mencerahkan kepada pubik, senantiasa menggelorakan semangat para awak media di daerah konflik untuk terus berkarya. Tentu saja karya itu –ada maupun tidak ada di wilayah konflik– harus tetap mengedepankan prinsip-prinsip dasar jurnalistik: menjunjung tinggi sekaligus menerapkan kode etik jurnalistik (KEJ).

Sayangnya, meskipun sederhana rumusannya, KEJ acapkali tidak dipahami bahkan dipatuhi sebagian jurnalis dalam menjalankan profesinya. Alih-alih dipahami, dikenal dan dibaca saja malah tidak. Kenyataan ini kembali saya temui ketika mendapat kesempatan berbagi pengalaman dengan para jurnalis dari Papua Barat, di Makassar, Rabu (02/04/2014).

Lanjut Baca »

From Malang with Love

Malang… Kota ini tumbuh begitu pesat sekarang. Setelah empat tahun tak singgah di “Kota Apel”, saya kembali mendapat kesempatan bertandang di basis suporter kesebelasan Arema tersebut. Dengan bekal undangan dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Ditjen Dikti Kemendikbud), saya berangkat ke Malang.

20130913_120759Jumat, 13 September 2013 di Hotel Kartika Graha, Jalan Jaksa Agung Suprapto, Malang, menjadi narasumber pelatihan bagi Pranata Humas perguruan tinggi se Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara. Begitulah bunyi undangan Kemendikbud itu. Sehari sebelum menginjakkan kaki di Malang, Kamis (12/9/2013) pagi sekitar pukul 08.15 wib, saya terbang dari Bandung menuju Surabaya. Di Bandung sehari sebelumnya, Saya bersama tim dari kantor menyelenggarakan pelatihan internal Kehumasan untuk Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Tiba di Surabaya ontime, pukul 09.30 wib, setelah terbang bersama Airbus A 320-200 milik Indonesia Air Asia. Setelah mengikuti beberapa pertemuan dengan sejumlah teman dan kolega di Surabaya, Kamis jelang tengah malam saya baru meluncur ke Malang, menyewa mobil langganan sebuah hotel. Jarak lk 80 km dari Surabaya menuju Malang, cukup ditempuh satu jam dan 40 menit. Sepuluh menit jelang pukul satu Jumat dini hari, saya pun tiba di hotel Kartika Graha, Malang.

Hampir lima jam merebahkan diri di kamar hotel sudah cukup membuat tubuh saya segar kembali, usai menempuh perjalanan estafet Bandung – Surabaya – Malang. Oleh panitia pelatihan, saya mendapat jatah sessi “Indonesia Media Landscape dan Merancang Hak Jawab”, di Jumat pagi itu disambung hingga usai salat Jumat sampai pukul 14.00 wib.

Saatnya sessi saya pun dimulai… Seperti biasa, saya suka “tebar hadiah”, bukan “tebar pesona” loh, setiap kali dapat jatah sebagai narasumber pelatihan semacam ini yang digelar berbagai pihak. Hadiah yang saya berikan, selalu berupa tiket gratis mengikuti pelatihan atau konferensi kehumasan yang diadakan kantor saya, Serikat Perusahaan Pers (SPS) Pusat. Dua hadiah saya luncurkan ke peserta di akhir sessi saya, berupa tiket gratis mengikuti konferensi “Indonesia Public Relations Awards and Summit (IPRAS) 2013” senilai @ Rp 2,5 juta/orang, yang akan digelar di Jogjakarta, 28 – 29 November 2013.

Sessi saya pun berjalan dengan lancar. Seperti biasa, Alhamdulillah peserta yang sebanyak 32 orang juga sangat aktif berdialog dengan Saya. Sesekali humor segar saya lontarkan, membuat sessi siang itu tidak meletihkan bagi peserta. Simulasi membuat hak jawab berhasil dilakukan dengan cukup baik. Kesan saya, sebagian besar peserta memahami materi yang saya berikan.

Sore hari di Jumat itu, panitia mengagendakan pula kunjungan peserta ke kantor redaksi harian Malang Post. Sebuah koran harian di Malang yang merupakan bagian dari grup media Jawa Pos. Di luar Malang Pos, di kota ini juga ada harian Radar Malang. Tapi tampaknya Malang Pos lebih besar pasar dan pengaruhnya kepada pembaca di wilayah Malang dan sekitarnya (Kabupaten Malang, Kota Malang, dan Kota Batu). Ini terekam dari penjelasan Sunasib, Pemimpin Redaksi Malang Pos kepada peserta pelatihan. Aktivitas Malang Pos untuk meng-engage pembaca seperti melalui Senam Massal tiap Minggu, adalah salah satu faktor luasnya pengaruh koran ini.

Sejak lebih dari 10 tahun terahir, Malang dan sekitarnya, khususnya Kota Malang tak sekadar berjuluk Kota Apel. Tapi sudah berkembang dengan tambahan predikat “Kota Pelajar”. Diperkirakan lebih dari 200 ribu mahasiswa berkuliah di Malang saat ini dan mengkontribusi peredaran uang per bulan tak kurang dari Rp 350 milyar. Wowwww….!!! Cukup fantastik untuk ukuran wilayah seluas Malang yang hanya terdiri tiga daerah setingkat kabupaten dan kota.

Wajah Malang kini memang penuh nuansa pendidikan. Tebaran kampus negeri dan swasta saling berhimpit di kawasan Dinoyo. Mulai dari Universitas Negeri Malang, Universitas Muhammadiyah Malang, hingga Universitas Brawijaya. Di Brawijaya saja, tak kurang kini terdapat 16 ribu mahasiswa yang sedang kuliah menurut penuturan humas universitas itu, Susantinah.

Walau semakin bertumbuh sebagai kawasan kota yang besar, Malang raya belum didukung infrastruktur bandara yang memadai. Bandara Abdurrahman Saleh saat ini, hanya bisa melayani penerbangan dengan pesawat sekelas Boeing 737 seri 300 dan 500 yang berkapasitas 105 penumpang. Atau Airbus A 320-200 berkapasitas 180 penumpang. Sementara pesawat Boeing sekelas 737-800 belum berani mendarat di bandara ini karena landas pacu yang relatif pendek, kurang dari 2500 meter dan topografi Malang yang dikelilingi pegunungan dan beberapa gunung. Akibatnya, frekuensi penerbangan ke dan dari Malang masih sedikit.

Toh begitu, daya pikat Malang tetaplah memesona. Kota ini memiliki ciri khasnya sendiri sebagai sebuah kota pendidikan yang beriringan dengan karakter agrobisnis. Di pusat kota, sejumlah bangunan peninggalan Belanda, dirawat dengan baik. Malah dipergunakan sebagai pusat kantor pemerintahan maupun untuk bisnis.

Hhhhmmm…. Menelusuri sudut-sudut kota Malang hingga merayapi jalan menanjak menuju Kota Batu, saya pun mendapati berbagai kekhasan kota itu. Dan setelah empat tahun tidak menginjakkan kaki ke kota ini, saya pun merasa “jatuh cinta” dengan Malang. Dan itu saya bawa ke Jakarta, kota tempat tinggal saya. From Malang with love…. Semoga bukan sebuah statusisasi melow. Hohohoho… ***

Tahun ini, FEKSI membuka dua kategori baru lomba –lomba foto jurnalistik dan lomba mading. Lomba foto jurnalistik bersifat nasional (online), tidak sebatas 10 kota lokasi penyelenggaraan lomba debat. Dan inilah ketentuan detil lomba foto jurnalistik.

1.    Lomba foto jurnalistik dibuka secara nasional (tidak sebatas 10 kota).
2.    Kompetisi foto jurnalistik diikuti oleh perorangan (bukan tim).
3.    Setiap peserta hanya diperbolehkan mengirimkan maksimal 1 (satu) karya foto jurnalistik.
4.    Peserta lomba foto jurnalistik DILARANG MERANGKAP menjadi peserta lomba-lomba FEKSI 2012 yang lain (lomba debat, menulis artikel, dan mading).
5.    Pendaftaran peserta lomba foto jurnalistik tidak dipungut biaya alias Gratis.
6.    Pendaftaran lomba foto jurnalistik dibuka tanggal 25 April 2012 dan akan ditutup tanggal 30 Juni 2012.
7.    Pendaftaran dilakukan dengan mengisi formulir online di http://bit.ly/feksiFOTOGRAFI.
8.    Tema lomba foto jurnalistik adalah “Aksi pemuda Indonesia kreatif dan cinta produk dalam negeri”.
9.    Karya foto dilarang mengandung unsur SARA, provokatif, pornografi, penghinaan, dan kekerasan
10.    Karya foto hanya dapat diambil dari kamera handphone.
Lanjut Baca »

RUPS Dewan Pers

Ketua Dewan Pers, Bagir Manan, menyampaikan kinerja Dewan Pers 2011.

Jelang akhir tahun, Dewan Pers pun tak ketinggalan menggelar ekspose atas kinerja mereka sepanjang 2011. Paparan kinerja ini saya sebut dengan RUPS, laiknya RUPS perusahaan sebagaimana mestinya. Soalnya, acara yang digelar Senin (12/12) di kantor Dewan Pers, dihadiri sejumlah konstituen, antara lain Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan kantor saya, Serikat Perusahaan Pers (SPS) Pusat.

Salah satu temuan terpenting yang dipaparkan Dewan Pers adalah jumlah pelanggaran etika pemberitaan media. Menurut Bagir Manan, Ketua Dewan Pers, sepanjang 2011, pelanggaran etika pemberitaan yang paling menonjol adalah berita yang tidak berimbang (22 kasus). Urutan berikutnya adalah mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi (10 kasus), dan berita yang tidak akurat (10 kasus).

Di luar itu masih ada kasus tidak melakukan konfirmasi (6), tidak jelas narasumbernya (4), dan tidak profesional dalam mencari berita (4). Hal lain, selama tahun ini, Dewan Pers juga telah memutuskan 57 kasus pelanggaran kode etik jurnalistik, memediasi kasus (21 buah), dan mengeluarkan pernyataan penilaian dan rekomendasi (PPR) sebanyak 8 buah. Melihat temuan di atas, tampaknya profesionalisme masih menjadi –meminjam istilah Syahrini– “sesuatu” yang harus terus-menerus diperjuangkan. Di sisi lain, sepanjang tahun ini pula, Dewan Pers mengklaim telah mendidik 784 wartawan di seluruh Indonesia.

Sungguh pekerjaan berat memang untuk menegakkan profesionalisme wartawan dan media di republik ini. Apapun, ekspose kinerja tahunan Dewan Pers pantas diapresiasi meski sepi audiens. Sayang, memang….!

Hampir dua pekan lamanya saya menjelajah lima propinsi di Tanah Air. Berawal dari kehadiran saya dalam ulang tahun ke-66 Harian Kedaulatan Rakyat (KR) di Jogjakarta, 27 September 2011, hingga berada di Lombok selama empat hari untuk mengadakan workshop public relations pada 5 – 7 Oktober lalu.Ulang tahun KR menjadi sangat bermakna, karena inilah salah satu koran tertua di republik yang masih bertahan dan menjadi pemimpin pasar di wilayah Jogjakarta dan sekitarnya hingga kini. Walaupun belakangan, eksistensi KR mulai terusik oleh kehadiran koran-koran baru di Jogjakarta.

Persaingan bisnis koran di Jogjakarta belakangan memang mengeras sejak terbitnya Harian Tribun Jogja milik Kelompok Kompas Gramedia (KKG). Tribun Jogja yang membandrol harga eceran Rp 1.000/eksemplar, bahkan dikeluhkan para pelaku industri suratkabar di Jogjakarta akan mengganggu iklim persaingan bisnis koran di wilayah tersebut. Disamping KR, di Jogjakarta kini beredar harian Bernas Jogja, Radar Jogja, dan Harian Jogja.

Lanjut Baca »

Pernahkan Anda menonton film Laskar Pelangi besutan Riri Reza dan Mira Lesmana? Tentu jawab Anda sudah. Bagaimana dengan bukunya? Sudahkah pula Anda baca? Mungkin sudah, mungkin juga belum. Lalu, mungkinkah bertemu para pemain film Laskar Pelangi, di kampung halaman mereka sendiri, Belitong? Sungguh tidak mudah, bagi kebanyakan kita. Tapi, ketika ada kesempatan berjumpa mereka di Belitong, wow…sungguh sebuah pengalaman yang mengesankan.

Dan… Itu saya alami kemarin, Rabu (29/6) sekitar pukul 20.00 wib di Tanjungpandan, Belitung. Dengan diantar General Manager Pelindo II Cabang Tanjungpandan, Muhammad Iqbal, saya dan Direktur Keuangan Pelindo II, Dian M Noer, bertandang ke rumah keluarga Yogi, sang pemeran Kucai dalam film Laskar Pelangi, Malam itu, tidak semua pemain Laskar Pelangi yang berjumlah 12 orang hadir di kediaman orang tua Kucai. Hanya tiga orang yang bisa saya jumpai –Yogi, Dewi, dan Suhendri.

Dewi adalah pemeran Sahara, sedangkan Suhendri berperan sebagai A Kiong. Mereka ditemani orang tua masing-masing. Dua pemeran lain, Aling dan Flo, hanya diwakili orang tua mereka. Total ada 3 pemeran utama dan 5 orang tua yang hadir malam itu.

Lanjut Baca »

Sore kemarin, Kamis (27/1), saya menghadiri undangan dari Lembaga Penyiaran Pubik (LPP) RRI di auditorium RRI, Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Undangan itu bertajuk peluncuran Kantor Berita Radio Nasional (KBRN) milik RRI. Awalnya, seperti menghadiri undangan-undangan peluncuran produk dan jasa baru dari sebuah korporasi atau lembaga, tidak ada hal mengejutkan yang saya jumpai. Launching diawali dialog interaktif yang disiarkan langsung RRI Pro-3 secara nasional dengan menghadirkan pembicara Freddy Tulung (Dirjen Komunikasi Publik Kemenkominfo), Buya Syafii Ma’arif (mantan Ketua PP Muhammadiyah), Agum Gumelar (Ketua Umum Pepabri), Adrinof Chaniago (UI), dan Rosarita Niken Widiastuti (Direktur Utama LPP RRI).

Usai dialog, saya dan para tamu undangan dipersilakan menuju lantai 7 gedung utama, di lantai Pusat Pemberitaan RRI, untuk meneruskan seremoni peluncuran KBRN RRI. Seremoni lazimnya pun dilakukan. Pidato, memotong tumpeng, dan tentu saja melongok ruangan newsroom Pusat Pemberitaan RRI. Ketika seremoni sudah usai, dan menunggu giliran turun melalui lift, saya menjumpai kejutan pertama. Kejutan itu adalah sosok Adnan Iskandar, seorang praktisi periklanan nasional, yang pernah menjabat ketua Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) DKI Jakarta.

Saya mendekat, menepuk pundak Adnan lalu mengulurkan tangan hendak berjabat. Ia pun terkejut mendapati saya berada di ruangan itu. Sejurus kemudian, meluncurlah cerita singkat tentang kronologi ia berada di ruangan itu. “Saya sekarang di sini,” ujarnya membuka cerita. Hhhhhmmmm… Saya menyahut polos, “Jadi konsultan RRI ya.. Baguslah kalo RRI punya konsultan seperti Anda, biar lebih fresh penampilannya dan makin berkembang.” Adnan menukas cepat. “Bukan, boss… Aku sekarang jadi salah satu direksi, diutus oleh PPPI.” Wowww…!!! Rada tercekat saya mendengarnya. Belum banyak kami bercerita, karena dia pun segera akan menjauh untuk menjumpai tamu-tamu yang lain, dari jarak kira-kira 5 meter, saya melihat sosok yang akrab saya kenal. Dan sosok itulah yang membuat saya kembali memperoleh kejutan kedua.

Lanjut Baca »

Revenue generation dari mobile newspaper sangat menjanjikan.

Perdebatan soal eksistensi media cetak vs media online (digital), selayaknya kini harus dihentikan. Pertama, jelas tidak produktif; dan kedua, perdebatan itu hanya akan menghabiskan energi kreatif dan inovasi yang semestinya dikembangkan bersama-sama antara penerbit media cetak dan penyelenggara layanan digital. Awalnya, masih banyak orang ragu, bahwa ekspansi konten media cetak ke multi-platform digital dan mobile, akan mendorong kehancuran dan kebangkrutan media cetak. Faktanya? Tidak juga…! Meski sirkulasi koran, majalah, dan tabloid dalam kurun 10 tahun terakhir sulit beranjak positif, bahkan kadang minus 1 – 2 persen, tapi volume iklan media cetak terus berkembang.

Kecemasan bahwa ekspansi konten media cetak ke multiplatform tidak akan menghasilan pendapatan baru (revenue generation), juga salah sama sekali. Tahun 2010 lalu, total kue iklan yang diperoleh media online, termasuk penerbit cetak yang memiliki web portal, berkisar Rp 150 milyar. Dari jumlah itu, sekitar 60 persen diraup oleh Detik.com dan Kompas.com. Selebihnya diperebutkan oleh Okezone, Vivanews, Kaskus, Yahoo Indonesia, Google Indonesia, Tempo Interaktif, dll. Bahkan dalam kasus Kompas, seluruh revenue yang diperoleh Kompas digital dan mobile, mencapai 6 persen dari total iklan yang diperoleh Kompas cetak. Paling tidak, itulah pengakuan Edi Taslim, Wakil Direktur Bisnis Kompas, dalam seminar Media Industry Outlook (MIO) 2011 yang digelar Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat, Rabu (26/1), di Jakarta Media Center, Gedung Dewan Pers, Jakarta.

Lanjut Baca »

Selama satu bulan seminggu, 1 Juli – 5 Agustus 2010, saya dan tim menjelajah empat kota –Makassar, Palembang, Semarang, dan Bandung– berjumpa sejumlah akademisi jurnalisme dan komunikasi, serta praktisi media lokal (cetak, elektronik, dan online). Misi utamanya lumayan berat: menggagas pedoman magang di media bagi mahasiswa jurnalistik di seluruh negeri ini.

Hhhhhhhhmmmm…. Unesco Jakarta, berbaik hati mendukung program kantor saya, Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat ini. Ada visi yang sama antara kantor saya dengan Unesco Jakarta. Ingin mendorong sebanyak mungkin kader-kader jurnalis di media yang lebih berkualitas dari waktu ke waktu, yang berasal dari pendidikan jurnalisme di perguruan tinggi. Kebetulan, pada 2007, Unesco meluncurkan sebuah buku tentang pedoman penyusunan kurikulum jurnalisme. Dari buku inilah, workshop penyusunan pedoman magang bagi mahasiswa jurnalistik saya kemas dengan dukungan Unesco Jakarta.

Yang paling mendasar ketika menyebut kata “magang” dalam konteks pendidikan jurnalisme, adalah sebuah proses “berlatih bekerja” sebagai jurnalis –di media cetak, elektronik, dan online– selama kurun waktu tertentu. Magang di sini juga berbeda dan sama sekali tidak menyerupai kegiatan kuliah kerja lapangan (KKL), atau bahkan studi banding, yang acapkali juga diselenggarakan mahasiswa berbagai perguruan tinggi.

Lanjut Baca »